Minggu, 07 Desember 2008

Falsafat Qurban dalam Islam


Alhamdulillah kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu Idul Adha. Jika pembaca ditanya: "apa sih specialnya hari Idul Adha?" pasti jawabnya: "daging yang melimpah" Ya, Idul Adha identik dengan daging qurban, karena pada hari raya ini umat Islam yang mampu diperintahkan Allah untuk berqurban (memotong hewan qurban). Dalam QS. Al Kautsar: 2, Allah berfirman –yang artinya--: "Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berqurbanlah." HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi menegaskan perintah ini, sekaligus menjelaskan keutamaan berqurban, Rasulullah bersabda –yang artinya--: "Tak ada amalan yang paling dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha daripada memotong hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban itu akan hadir pada hari kiamat (sebagai bukti amal pelakunya) lengkap dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya qurban tersebut akan sampai di sisi Allah sebelum darahnya menyentuh bumi." Beberapa riwayat menceritakan bahwa Rasulullah selalu melakukan qurban setelah disyariatkan pada tahun 2 H. Berdasarkan teks-teks di atas dan perbuatan Rasulullah, ulama berkonsensus (ijma') bahwasanya memotong hewan qurban adalah perbuatan yang disyari'atkan dalam Islam.

Wah, lengkap sekali kan dalil legalitas qurban dalam Islam? Berangkat dari teks-teks di atas, para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hukum ibadah qurban, apakah ia termasuk perbuatan wajib atau sunnah? Imam Abu Hanifah mewajibkan setiap Muslim yang mampu untuk melakukan qurban setiap tahun. Pendapat ini didukung oleh HR. Ibnu Majah: "Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk berqurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka ia tidak boleh mendekati tempat sholat kami" Sementara Muhammad dan Abu Yusuf (ulama Hanafiyyah) dan Malikiyyah mengklasifikasikannnya ke dalam ibadah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), dan makruh meninggalkannya bagi orang yang mampu. Pendapat ini didukung oleh HR. Tirmidzi: "Tiga hal yang diwajibkan atasku dan disunnatkan bagi kalian; sholat witir, memotong hewan qurban dan sholat dhuha." Adapun HR. Ibnu Majah di atas –menurut kelompok ini—merupakan penegasan dari kesunnahannya (sunnah mu'akkadah). Bahkan Malikiyyah menambahkan "yang paling utama adalah memotong qurban untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya." Berbeda dengan mazhab lain yang mewajibkan atau mensunatkan berqurban setiap tahun, Syafi'iyyah mengatakan bahwa berqurban adalah amalan sunnah seumur hidup sekali. Hal ini kembali kepada kaidah penggalian hukum yang mereka gunakan, yang salah satunya menegaskan bahwa sebuah perintah yang tidak dibatasi --berapa kali harus dilaksanakan-- gugur dengan sekali pelaksanaan. Terlepas dari perdebatan para ulama tentang klasifikasi hukum berqurban (wajib atau sunnah mu'akkadah), kita bisa menyimpulkan bahwa para ulama sepakat bahwa memotong hewan qurban diperintahkan Allah bagi setiap muslim yang mampu, tidak hanya bagi pak dan bu haji sebagaimana anggapan sebagian masyarakat di Indonesia.

Kenapa sih Allah memerintahkan kita untuk berqurban? Memotong hewan qurban dalam Islam merupakan manifestasi rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya atas nikmat yang diberikan. Selain itu ia juga merupakan salah satu jalan pensucian diri dari tindak maksiat dan segala bentuk kesalahan atau kekurangan dalam menjalankan kewajiban. Dalam qurban juga terdapat hikmah lain yang bisa dirasakan oleh pelaku qurban, keluarga dan orang lain (terutama fakir miskin), yaitu menikmati daging hewan qurban.

Tidak jarang kita melihat orang memotong kambing atau sapi sebelum melaksanakan sholat Idul Adha, agar selesai sholat Ied bisa langsung menikmati hasil qurban. Sebenarnya kapan sih kita boleh memotong hewan qurban? Para Ulama sepakat bahwa waktu potong qurban adalah usai sholat iedul Adha atas dasar HR. Bukhori: "Barang siapa yang menyembelih sebelum sholat, maka harus mengulangi qurbannya. Barang siapa yang menyembelih setelah sholat, maka telah sempurna ibadahnya (qurbannya) dan telah mengikuti sunnah kaum muslimin" Dalam hadits ini ditegaskan bahwa jika ada yang menyembelih hewan qurban sebelum sholat, tidak dianggap telah melakukan qurban dan harus mengulangnya. Menurut mayoritas fuqaha waktu berqurban berlangsung sampai hari kedua hari tasyriq, sementara Syafi'iyyah berpendapat bahwa kesempatan untuk berqurban meliputi tiga hari tasyriq.

HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi di atas menjelaskan bahwa hewan qurban akan menjadi saksi kelak di hari kiamat. Tentunya tidak sembarang binatang yang bisa mendapatkan kehormatan seperti itu, HR. An Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud menggariskan beberapa syarat untuk hewan layak qurban; tidak bermata satu, tidak mengidap penyakit, tidak pincang, dan tidak terlalu kurus. Kemudian para fuqaha menganalogikan aib atau cacat yang lain kepada aib-aib yang tersebut dalam hadits, seperti; yang sama sekali tidak bisa berjalan, buta kedua mata, dan cacat yang bisa mengurangi daging hewan. Selain itu fuqaha juga menggariskan sifat-sifat yang disunatkan dalam hewan qurban: berupa domba jantan, gemuk, bertanduk, dan putih. Karena inilah sifat hewan qurbannya Rasulullah.

Kita sering mendengar ada orang patungan beli sapi qurban, sebenarnya hukumnya gimana? Ibadah, kok patungan? emang boleh? Ulama sepakat bahwa untuk melaksanakan ibadah qurban seorang muslim boleh memotong seekor kambing atau domba, sementara onta dan sapi bisa dijadikan hewan qurban untuk tujuh orang. Hal ini didasarkan oleh HR. Muslim: "Kami keluar bersama Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji, kemudian Rasulullah memerintahkan kami untuk berpatungan memotong unta dan sapi, seekor untuk tujuh orang." Dan tidak disyaratkan pemilik saham harus berasal dari satu keluarga. Jadi syah-syah saja kita (sebanyak tujuh orang) patungan membeli unta dan sapi sebagai hewan qurban bersama. Adapun mana yang afdhal untuk digunakan sebagai hewan qurban? domba? sapi? atau unta? Malikiyyah berpendapat bahwa dombalah yang afdhal karena Rasulullah memilih domba sebagai hewan qurbannya. Sementara mayoritas fuqaha menjadikan banyaknya daging sebagai standar afdholiyyah, sehingga susunannya sebagai berikut: unta, sapi dan domba. Menurut mereka dengan lebih banyak daging lebih banyak pula fuqara yang bisa menikmati daging qurban. Adapun mengapa Rasulullah memilih domba? Terkadang Rasulullah memilih hal yang paling mudah –bukan yang utama— untuk memberi keringanan kepada umatnya.

Demikianlah, setiap muslim yang mampu, diperintahkan untuk melakukan ibadah qurban, minimal sekali seumur hidupnya –sebagaimana pendapat Imam Syafi'i—, dan tentunya akan lebih baik apabila dilakukan setiap tahun –sebagaimana pendapat mayoritas fuqaha, bahkan Malikiyyah menghukumi makruh meninggalkan qurban bagi yang mampu--. Dan yang harus diperhatikan ibadah qurban ini harus dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah, karena Allah berfirman dalam QS. Al Hajj 37: " Daging-daging nya (unta dan sapi) dan darahnya sekali-sekali tidak dapat menggapai (keridhoan) Allah, namun ketaqwaanmulah yang bisa menggapainya." Akhirnya , semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa, beribadah hanya karena-Nya.

Senin, 01 Desember 2008

TUNANGAN: KONSEP PACARAN ALA ISLAM

Tidak jarang kita mendengar pertanyaan apakah ada pacaran dalam Islam? Boleh ndak sih pacaran menurut Islam atau ada ndak sih fiqh pacaran? Dan pertanyaan-pertanyaan senada.
Jika di pertemuan terakhir kita sudah membahas bagaimana Islam menuntun umatnya dalam memilih pasangan hidup, dimulai dengan kriteria pasangan ideal, sampai kepada trik untuk mendapatkannya. Maka pada pertemuan kali ini kita akan mempelajari apa yang harus kita lakukan ketika sudah menjatuhkan pilihan. Yup! Pada kesempatan ini kita akan membahas fiqh khitbah.
Ketika seseorang telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang wanita untuk dijadikan pasangan hidupnya, maka ia harus bersegera menyatakan keinginannya kepada wanita tersebut atau kepada walinya. Apabila pihak wanita menyambut keinginan tersebut maka terealisasilah apa yang dimaksud engan khitbah dalam istilah fuqaha.
So, dalam fiqh Islam, khitbah hanya merupakan proses yang harus dilalui sebelum akad nikah dan bukan bagian dari akad nikah, artinya tidak mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah akad, karenanya, sebagaimana akan kita bahas bersama adanya khitbah tidak merubah apapun dalam hukum berinteraksi antara pasangan yang sudah bertunangan dan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada ikatan pertunangan. Karena tunangan hanyalah sebuah janji untuk menikah bukan pernikahan itu sendiri.
a. Hukum wanita meminang/melamar laki-laki
Dalam kondisi biasa, laki-lakilah yang melakukan propose kepada pilihan hatinya. Namun, dalam kondisi saat ini, dimana kaum hawa sibuk menuntut ilmu dan mengejar karir sehingga tidak mengacuhkan lamaran-lamaran kaum Adam. Dan baru tersadar akan kebutuhan seorang pendamping yang menemaninya menyusuri hari-hari tua setelah waktu berlalu, ia sudah berada di posisi tinggi dan tentunya tidak lagi muda, sementara para pria pun sungkan/bahkan merasa tidak level untuk melamarnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak usah bingung, 1. teladani saja apa yang dilakukan sayyidah Khadijah ketika beliau menemukan seorang pemuda yang memiliki semua kriteria yang ia dambakan, beliau mengirim Nafisah bintu Muniyyah untuk melamar Muhammad.
2. atau ikuti apa yang telah dilakukan seorang wanita yang menawarkan dirinya pada Rasulullah. Dalam sebuah HR. Bukhori diceritakan bahwa suatu hari Anas tengah meriwayatkan sebuah hadits tentang wanita yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah, spontan putri Anas berujar: “sungguh wanita tersebut tak punya malu” Anas berkata: “wanita tersebut lebih baik darimu, ia berkeinginan menjadi pendamping Rasulullah dan menyampaikan keinginannya.” Bahkan kisah wanita ini diabadikan dalam QS. al Ahzab: 50.
Demikianlah berdasarkan dua kejadian ini, fuqaha sepakat akan kebolehan wanita melamar laki-laki dan hal itu sama sekali tidak menjatuhkan prestise seorang wanita, bahkan menunjukkan akan keutamaan wanita tersebut apabila ia memenuhi syarat berikut; laki-laki yang dilamar adalah seorang yang sholeh, serta tujuan dari lamaran tersebut bukan bersifat duniawi.
Adapun apabila wali wanita mencarikan atau melamarkan calon pasangan putrinya, maka hal ini tidak diragukan kebolehannya bahkan ada yang berpendapat sunnah. Hal ini dilakukan oleh Umar bin Khattab, ketika sayyidah Hafshah menjadi janda, beliau melamar Utsman dan Abu Bakar, namun keduanya menolak karena mengetahui bahwa Rasulullah akan melamarnya. (HR. Bukhori)

b. Syarat wanita yang boleh dilamar
Setidaknya ada dua syarat yang dipenuhi ketika seseorang laki-laki akan melamar:
1. Wanita yang akan dilamar adalah wanita yang boleh dinikahi
Karenanya disyaratkan wanita tersebut tidak memiliki ikatan muhrim dengan laki-laki yang akan melamar baik muabbadah atau muaqqattah, dan tidak dalam ikatan perkawinan baik sebagai istri atau dalam masa ‘iddah thalaq raj’i. Larangan melamar kepada wanita dalam kondisi ini mencakup kepada melamar secara transparan (tashrih) atau berupa sindiran (ta’ridh), karena perempuan yang ada dalam ikatan pernikahan haram dinikahi.

Bagaimana halnya dengan janda ditinggal mati yang masih dalam masa ‘iddah?
QS. al Baqarah:235 menjelaskan bahwa janda ditinggal mati boleh dilamar secara sindiran dalam masa ‘iddahnya (selama 4 bulan 10 hari). Kenapa al Qur’an hanya membolehkan lamaran dalam bentuk sindiran? Karena lamaran secara terang-terangan akan menyakiti hati kerabat suami. Subhanallah! Inilah ajaran Islam yang sebenarnya, yang sangat memperhatikan fitrah umatnya.

Bagaimana dengan janda dalam ‘iddah thalaq bain (thalaq bain adalah thalaq yang melarang kembalinya wanita dengan mantan suaminya ke dalam ikatan pernikahan kecuali dengan akad baru (thalaq bain baynunah sughra) atau dengan menikahnya mantan istri dengan orang lain (thalaq bain baynunah kubra).
Fuqaha sepakat bahwa lamaran secara transparan dilarang terhadap wanita dalam ‘iddah dengan segala bentuknya. Hal ini kembali kepada keterangan al qur’an yang hanya membolehkan lamaran berupa sindiran untuk wanita yang ada dalam ‘iddah ditinggal mati. Yang menjadi permasalahan adalah apa boleh melakukan lamaran berupa sindiran untuk wanita dalam ‘iddah thalaq bain?
Hanafi berpendapat bahwa kebolehan lamaran secara sindiran hanya terbatas untuk janda ditinggal mati karena al qur’an hanya menyebutkannya, janda dalam kondisi lain berarti tidak boleh. Selain itu apabila dibolehkan lamaran sindiran dalam masa iddah thalaq bain baynunah sughra maka ini menutup kesempatan suami yang berkeinginan untuk kembali kepada istrinya dengan akad baru. Demikian halnya dengan wanita dalam iddah thalaq bain baynunah kubra, tidak boleh dilamar karena bisa jadi lamaran ini mendorong ia untuk bersegera menyelesaikan masa iddahnya dengan berbohong, atau menimbulkan rumor yang kurang baik bahwa laki-laki tersebut adalah orang ketiga sebagai penyebab perceraian.
Sementara mayoritas fuqaha membolehkan lamaran berupa sindiran kepada wanita dalam ‘iddah thalaq bain (baik sughra atau kubra) karena Rasulullah menyindir fatimah bintu qais dalam masa iddah baynunah kubra (HR. Muslim). Dan karena hak suami atas istri dalam iddah thalaq bain sudah terputus, dengan bukti harus ada akad baru atau pernikahan dengan yang lain.
Tarjih:
Saya pribadi setuju dengan pendapat Imam Hanafi dalam hal kebolehan melamar wanita yang ada dalam ‘iddah thalaq bain baynunah sughra, karena di dalamnya ada makna mengganggu hak orang lain dalam hal ini kesempatan suami untuk kembali kepada istrinya dengan akad baru. Sementara wanita dalam iddah thalaq bain baynununah kubra, maka boleh dilamar berupa sindiran sebagaimana pendapat mayoritas fuqaha. Karena suami tidak dapat kembali kepada istrinya kecuali istrinya sudah menikah dengan orang lain. Adapun kekhawatiran lamaran tersebut menjadi pemacu kebohongan wanita akan ‘iddahnya, maka hal ini tidak bisa dibenarkan karena yang dimaksud dengan lamaran sindiran ini bisa bermaksud melamar namun bisa juga tidak, jadi sebuah kecerobohan dan menunjukkan kekurangan iman apabila seorang wanita berbohong akan iddahnya karena lamaran yang belum jelas. Cukup untuk membuktikan ini apa yang terjadi terhadap Sukaenah bintu Khanthalah; Muhammad bin Husein bin Ali berkata: “Kamu tentu tahu kekerabatanku dengan Rasulullah dan Ali, dan posisiku di bangsa Arab” Sukaenah menjawab: “Semoga Allah mengampunimu, karena melamarku dalam masa ‘iddahku” Muhammad berkata: “aku kan hanya menjelaskan kepadamu tentang kekerabatanku dengan Rasulullah dan Ali.”

2. Wanita yang akan dilamar tidak berstatus sebagai tunangan orang lain
Ulama sepakat bahwa diharamkan atas seorang muslim melamar tunangan orang lain. Jadi dalam hal ini pameo masyarakat yang mengatakan “sebelum janur kuning melengkung” tidak selalu relevan. Larangan ini berdasarkan HR. Bukhari: “seorang laki-laki tidak boleh melamar tunangan saudaranya sampai ia meninggalkannya (membatalkan) atau mengizinkan.” Hal ini untuk menjaga perasaan sang tunangan agar tidak terjadi permusuhan di antara sesama muslim.
Fuqaha mensyaratkan adanya jawaban yang transfaran atau respon yang baik dari pihak wanita. Karena apabila kita membuka literatur fiqh maka kita akan menemukan bahwa kondisi pelamar bisa dibagi kedalam 3 kelompok:
- Lamarannya telah diterima oleh pihak wanita, inilah yang dimaksud oleh hadits.
- Lamarannya telah ditolak oleh pihak wanita, dalam kondisi ini yang lain dipersilakan untuk melamar sang wanita tanpa harus merasa tidak enak hati.
- Lamarannya belum dijawab (masih pending, dalam masa pertimbangan). Kondisi inilah yang menuai perbedaan pendapat; Mazhab Syafi’i membolehkan yang lain untuk meminang, karena itulah yang terjadi dalam kisah fatimah bintu qais yang dilamar Rasulullah untuk dinikahkan dengan Usamah bin Zaed, padahal sudah ada Mu’awiyah dan Abu Jaham. Fuqaha yang lain mengatakan tidak boleh sebelum ada penolakan yang jelas, karena dikhawatirkan akan menjadi sebab penolakan pelamar sebelumnya. Menurut hemat saya, selama belum ada jawaban final dari wanita yang dilamar, maka boleh-boleh saja untuk yang lain melamarnya, kecuali ada tanda-tanda non verbal dari sang wanita baik berupa penerimaan atau penolakan, maka tanda-tanda tersebut dijadikan tolok ukur. Wallahu a’lam.

c. Hukum melamar tunangan orang lain
Apabila seseorang tidak menggubris aturan di atas, dan melamar tunangan orang lain, sampai kemudian naik ke pelaminan, apakah akad nikahnya sah atau tidak?
Mazhab Daud adz Dzahiry dengan tegas menyatakan ketidak sahan akad model ini, karena bermula dari hal yang dilarang agama, sehingga pernikahannya harus dibatalkan. Sementara mayoritas fuqaha menyatakan kesahan akad model ini, karena proses peminangan adalah proses yang terpisah dari akad sehingga tidak mempengaruhi sah dan tidaknya akad, namun tentu saja laki-laki tersebut telah berdosa dengan melanggar larangan Allah.

d. Konsekwensi pertunangan
- Fiqh Interaksi pasangan dalam masa tunangan
Sering mendengar alasan orang tua yang membebaskan putrinya keluar berduaan dengan tunangannya hingga larut, “ndak apa-apa mereka kan sudah tunangan cuman tinggal akad saja” ini adalah anggapan yang salah besar! Karena dalam islam tunangan hanyalah sebuah janji untuk melakukan akad (bisa terjadi atau tidak) bukan akad itu sendiri. Khitbah tidak menghalalkan apa yang diharamkan sebelum akad. Khitbah tidak menghalalkan laki-laki menyentuh tunangannya atau keluar tanpa orang ketiga, karena Rasulullah dengan tegas melarang laki-laki dan perempuan mojok kecuali ditemani muhrim, karena jika tidak (mojok berduaan) orang ketiganya adalah syetan (HR. Tirmidzi). Inilah konsep yang ditawarkan Islam untuk mengenal calon pasangan, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan yang akibatnya sangat fatal apabila tidak terjadi pernikahan yang dijanjikan.

- Hukum membatalkan pertunangan
Seperti yang dijelaskan di muka bahwa khitbah hanyalah sebuah janji untuk menikah, apabila selama pertunangan salah satu pasangan menemukan ketidak cocokan, maka boleh membatalkannya. Namun tentu saja memenuhi janji sangat diutamakan, apalagi jika pemutusan tidak berdasarkan alasan syar’i, karena walau bagaimanapun al qur’an menuntun kita untuk selalu menepati janji ( QS. Al Isra: 34), bahkan Rasulullah dengan tegas menjadikan melanggar janji sebagai ciri orang munafik, na’udzubillah!

- Adakah hak materi bagi wanita yang sudah dipinang
Khitbah tidak membawa konsekwensi materi seperti mahar dan sejenisnya, seperti yang terjadi di Mesir misalnya, apa yang disebut dengan syabkah atau hadiah yang berlimpah sebagai tanda cinta seorang laki-laki, hanyalah kebiasaan setempat, bukan bagian dari ajaran Islam. Bagaimana jika pertunangan ini berakhir tanpa pernikahan yang diharapkan?

e. Akibat pembatalan pertunangan
Bagaimana dengan harta yang telah diberikan seorang laki-laki kepada tunangannya baik itu berupa bagian dari mahar atau hadiah, apabila tidak terjadi pernikahan, bolehkan diambil kembali?
- Mahar
Mahar tidak diwajibkan kecuali dengan adanya akad. Karenanya seorang laki-laki boleh meminta kembali mahar/bagian mahar yang telah diberikan dalam masa tunangan.
- Syabkah
Cara pandang orang terhadap syabkah (berupa perhiasan emas yang diberikan pada masa tunangan) berbeda-beda, ada yang menganggapnya sebagai bagian dari mahar ada juga yang menganggapnya hanya sebagai hadiah. Karenanya, dalam menghukumi syabkah ini dikembalikan kepada kebiasaan setempat, apabila dianggap sebagai bagian dari mahar, maka harus dikembalikan ketika tidak terjadi pernikahan. Adapun apabila dianggap sebagai hadiah maka hukumnya sebagai berikut;
- Hadiah
Untuk mengekpresikan kedalaman cintanya, seorang laki-laki tidak sungkan memberi hadiah kepada calon istrinya. Bagaimana jika batal jadi istri?
Hanafiyah menganggap hadiah yang diberikan laki-laki terhadap tunangannya sebagai hibah, maka dihukumi hukum hibah. Apabila masih ada ketika terjadi pembatalan pertungan wajib dikembalikan, jika rusak, hilang atau habis tidak perlu diganti.
Sementara Syafi’iyyah menganggap hadiah diberikan berdasarkan keyakinannya untuk menikah kelak. Dalam kondisi ini syafi’i menilai bahwa hadiah dihukumi seperti mahar karena keterkaitannya dengan tujuan dari pemberian yaitu rencana menikah.
Adapun Hanabilah berpegang kepada qaidah yang menyebukan bahwa hadiah dan hibah tidak boleh diambil kembali.
Malikiyah berusaha untuk berhati-hati dalam memberi hukum sehingga memberikan kualifikasi hukum sbb.; apabila pembatalan pertunangan dari pihak yang memberi maka tidak boleh meminta kembali hadiahnya, sehingga tidak terjadi pameo “sudah jatuh tertimpa tangga” sudah diputuskan harus mengembalikan/mengganti hadiah yang diterima selama itu. Adapun apabila pemutusan keluar dari pihak penerima, maka pemberi boleh meminta kembali hadiah yang pernah ia berikan. Dan sepertinya pendapat inilah yang lebih adil. Wallahu a’lam.

f. Ganti rugi atas kerugian materi dan non materi
Apabila kita membuka literatur fiqh, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang ganti rugi yang dimaksud di sini, kenapa?
- Model khitbah zaman fuqaha tidak pernah memakan waktu yang lama, cukup untuk menyiapkan prosesi akad nikah
- Masyarakat Islami yang memahami bahwa khitbah hanyalah sekedar janji untuk menikah belum tentu jadi atau tidaknya.
- Konsistensi muslim dalam melaksanan ajaran Islam masa itu membuat tidak adanya perbuatan yang berkonsekwensi kerugian ketika batal menikah.
Dengan kondisi yang jauh berbeda, ulama kontemporer berijtihad dalam mencari solusi permasalahan di zaman ini? Dalam hal ini mereka terbagi ke dalam tiga kelompok:
1. Kelompok pertama mengikuti mazhab fuqaha terdahulu, dengan tidak memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh salah satu pihak akibat pembatalan pertunangan
Alasan:
- Konsep ganti rugi kontradiksi dengan konsep khitbah yang hanya merupakan janji bukan akad.
- Konsep ganti rugi tidak menyelesaikan masalah, kerugian yang terjadi adalah akibat kesalahan orang dalam memahami khitbah. Dengan menggunakan konsep ganti rugi artinya kita mengajak orang untuk tetap dalam kesalahan yang sama.
- Membatalkan pertunangan merupakan hak dua belah pihak, qaidah fiqh menegaskan bahwa jika kita melakukan hal yang dibolehkan oleh syari’at maka tidak memiliki konsekwensi memberi jaminan.
- Konsep ganti rugi bisa menjadikan pasangan menikah karena terpaksa. Misalnya seseorang yang menemukan ketidak cocokan pada calonnya namun karena harus membayar ganti rugi dengan terpaksa menikah.
- Kebanyakan kerugian yang timbul akibat kelalaiannya sendiri bukan karena pihak lain. Dengan adanya konsep ganti rugi sama saja Islam memotivasi orang untuk berlaku di luar ajarannya karena toh akan dapat ganti rugi.

2. Kelompok kedua mewajibkan ganti rugi apabila terbukti adanya kerugian akibat pemutusan
Alasan:
- Konsep ganti rugi didukung oleh konsep bahwa dalam menggunakan hak tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain. Kami setuju dengan statement bahwa membatalkan pertunangan adalah hak yang tidak wajib atasnya ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud bukan atas pemutusan pertunangan itu sendiri, namun atas akibat pemutusan tersebut yang merugikan kepentingan orang lain. Oleh karena itu untuk mendapatkan ganti rugi perlu dipenuhi tiga syarat; 1. Pemutusan bukan dari pihak wanita, 2. Pemutusan mengakibatkan kerugian materi dan psikis (selain kerugian akibat perbuatan maksiat yang mereka lakukan selama pertunangan),3. Adanya kepastian dari pihak laki-laki untuk menikahi tunangannya.
- Tidak benar bahwa kerugian yang terjadi akibat kelalaian pihak wanita, tidak sedikit laki-laki yang memberikan bukti-bukti bahwa ia serius untuk menikahi tunangannya. Namun secara tiba-tiba memutuskan pertunangannya. padahal selama itu bisa saja wanita tersebut mendapatkan pasangan lain apabila tidak dalam ikatan pertunangan.
3. Kelompok ketiga membagi kerugian ke dalam dua jenis; kerugian yang ditimbulkan oleh pihak yang memutuskan dan kerugian yang bukan disebabkan oleh pihak yang memutuskan. Yang pertama mendapat ganti rugi, yang kedua tidak mendapat ganti rugi. Kelompok ketiga ini hanya membatasi ganti rugi atas kerugian materi saja.

Tarjih:
Dengan mempertimbangkan alasan para ulama di atas, dan mengingat bahwa syarat sah nikah adalah keridhoan dua belah pihak, sementara konsep ganti rugi bisa mendorong seseorang untuk menikah karena terpaksa, maka pendapat yang mengatakan tidak adanya ganti rugi baik untuk kerugian materi atau non-materi lebih sesuai dengan ajaran Islam. Adapun solusi yang bisa ditawarkan untuk menekan frekwensi kerugian adalah kembali kepada pengertian dan maksud disyariatkannya khitbah dan membudayakan kembali kebiasaan kaum muslim terdahulu dengan menjadikan fatrah pertunangan sesingkat-singkatnya hanya cukup untuk persiapan prosesi akad nikah. Wallahu a’lam.